SORGANYA KUCING [2]

SORGANYA KUCING [2]

……..Sambungan dari sorganya kucing [1]

Malam telah perlahan-lahan tiba. Ini adalah malam yang berkabut, aku hampir membeku. Tak lama kemudian turun hujan. Hujannya kecil, tapi terasa menusuk nusuk ketubuh, ditambah lagi dengan rentetan angin yang berhembus menepisnya. 

Kami turun kebawah melalui lubang langit-langit pada tangga rumah. Hus! Jalanan sekarang, menurut pandangan saya betapa jeleknya! Ia sudah tidak memiliki panas yang begitu baik seperti dulu, tidak memiliki matahari besar yang dulu lagi, tidak ada lagi atap rumah putih yang berkilau  seperti dulu, yaitu tempat yang kami bisa berguling sepuasnya itu.

Trotoar tepi jalan penuh dengan lumpur tanah, kaki menginjak selangkah terpleset selangkah, kali ini aku sungguh kepikiran pahit sehubungan dengan selimut berlapis tiga dan bantal bulu.

Setibanya kita di jalanan, rekan saya si kucing jantan tua menggigil sebentar. Lalu ia menyusutkan tubuhnya menjadi kecil dan lebih kecil lagi. Menelusuri lewat depan pintu ke pintu  rumah orang, berjalan ber-sembunyi-sembunyi, dan pesan pada saya agar tetap membuntuti dia dengan cepat. Akhirnya tiba didepan garasi mobil sebuah rumah. Lalu ia mengumpat disampingnya. Dari mulutnya ngeong bersiul, seakan-akan ada yang membuatnya puas . Dalam kesempatan ini saya bertanya padanya :

[ Mengapa kita perlu mengumpat seperti ini? ]

Dia berkata: [ Kau lihat tidak orang itu sedang memegang ringgis dan sebuah keranjang? ]

[ Lihat.] jawab saya.

[ Bagus kalau kau bisa melihat ! kalau saja dia melihat kita, sekurang-kurangnya akan memukul mati kita dan digoreng minyak lho! ]

[ Digoreng minyak ? he! Jadi jalanan inipun bukan milik kita juga?  Kita tidak bisa makan, malah mau dimakan orang ! ]

5)

Untungnya, pada saat itu, orang sudah membuang sampah ke depan pintu. Aku pergi mencari, dari satu tumpukan ketumpukan lain,  namun masih saja kecewa besar. Saya hanya menemukan  dua hingga tiga tulang tanpa daging, lagi pula itu juga yang sudah terseka sama abu. Hingga saat ini, saya baru tahu bahwa betapa kayanya kandungan yang terdapat dalam cairan tetesan pada daging segar!

Rekan lama saya si kucing jantan tua mencari disampah benar-benar seperti seorang seniman. Dia mengajak saya berkunjung ke satu tumpukan dan tumpukan lain , dengan santai, berlanjut  hinga subuh baru berhenti. Sekarang saya sudah menahan hampir sepuluh jam dinginnya hujan gerimis, seluruh badan tak ada bagian yang tidak menggigil sek-sekan. Ah! Jalanan sialan! Kebebasan sialan! betapa rindunya aku kembali ke dalam sel itu!  

Langit sudah terang, kucing jantan tua melihat saya sudah mau roboh, lalu dia menukar sikap bicaranya dan bertanya saya:

[ Kau sudah cukup dengan kehidupan seperti ini bukan? ]

[ Ah, cukup sudah!] saya cepat mengatakan.

[ Apakah kau mau pulang? ]

[ Tentu saja! Tapi mana masih bisa cari rumah saya lagi? ]

[ Kau ikut aku. Kemarin pagi, ketika kau keluar, saya sudah berpikir,  kucing yang gemuk, telinga lebar dan kulit kepala banyak lemak seperti anda, tidak layak menikmati kebahagiaan atas kebebasan yang lahir dari kesulitan. Aku tahu tempat mu, saya mengantar kamu sampai ke depan pintu saja . ] Kucing jantan tua yang jujur hanya melontarkan beberapa kata pendek yang sederhana. 

Ketika kami sampai ke depan pintu, dia berkata kepada ku:

[Sampai jumpa! ] tanpa menunjukan perasaan sedih sedikitpun atas perpisahan.

Saya berseru: [ Tidak !  Kita berdua seharusnya tidak begitu bersudahan. Anda bisa ikut saya  masuk ke dalam. Aku membagi tempat tidur  dan dagingku dengan anda nikmati bersama. Nyonya rumah ini yang baik hati…..] Dia tidak menunggu saya selesai bicara. langsung dipotong dan dia berkata:

[ Tutup mulutmu! Sosok yang bodoh! Ketahuilah bahwa dalam zona kenyamanan anda, saya bisa mati. Kehidupan mewah seperti yang engkau nikmati, hanyalah kebutuhan jenis kucing blasteran yang  merasa nikmat. Kucing yang bebas tidaklah bersedia untuk mengorbankan kebebasannya dengan menukar kehidupan penjara demi makanan daging empuk dan bantal bulu-Mu ….. Selamat tinggal ! ] 

Dia naik kembali ke atap rumah. Saya menengok keatas melihat bahyangan sosok belakangannya yang kurus dan besar, saling berpadu dengan nyaman bersama sinar matahari yang baru terbit.

Aku memasuki rumah, bibi kamu mengambil sapu menghajar saya, saya juga manahan dan menerimanya dengan tulus dan rasa sukacitaku. Saya sungguh mengenyam sepintas kegembiraan dan kehangatan dari penyiksaan ini. Ketika dia memukuli saya, aku sudah kembali bermimpi indah, bahwa setelah selesai ia pukul, maka selanjutnya dia akan memberi daging ke saya makan.

Anda lihat, —- kucing saya di depan kompor api, sedang dengan lentur memanjangkan tubuhnya, menyampaikan kesimpulannya —– kebahagiaan dan surga yang sejati , yalah disekap dan menerima pukulan dalam rumah yang terdapat daging.

Yang saya cerita adalah hal tentang kucing.

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Isian wajib ditandai *

Loading...